MORALITAS DAN PERAN STRATEGIS KELUARGA - Jejak Info

Senin, 03 Mei 2021

MORALITAS DAN PERAN STRATEGIS KELUARGA


      *Oleh: DONI HADIANTO TAYEB


 Pendahuluan 

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian,kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat,bangsa dan Negara (UU Nomor 20 Tahun 2003). Dengan adanya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional sebagai upaya untuk meningkatkan mutu kinerja sistem pendidikan yang dianggap belum sesuai dengan harapan nasional, bahkan cenderung menurun,apalagi memenuhi standar internasional. Salah satu indikator rendahnya mutu pendidkan nasional adalah dapat dillihat dari prestasi akademik, proses pembelajaran masih terlalu  menekankan aspek akademik atau kognitif semata dan kualitas tenaga pendidik atau guru masih dipandang rendah. Sementara itu aspek – aspek non akademis, seperti nilai-nilai moral, belum diberdayakan secara optimal, dan hasilnya juga masih jauh dari yang diharapkan. Penanaman nilai –nilai moral diberikan secara terintegrasi melalui pelajaran tertentu saja, seperti PPKN dan Agama. Nilai –nilai moral cenderung hanya “diajarkan” semata, dan bukan “ditanamakan” pada siswa (Suyanto.2002). Efek yang terjadi kemudian adalah nilai –nilai moral tidak terinternalisasi dalam pribadi siswa atau anak didik. Fenomena ini tentunya berkorelasi dengan meningkanya kasus –kasus kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan maupun diluar dunia pendidikan di Indonesia.
 

 
Latar Belakang
Bila kita sempatkan diri berbincang-bincang dengan Orang Tua atau Pendidik yang berumur antara 45-60 an tahun tentang Moralitas anak-anak (siswa-siswi), maka secara umum kita akan menangkap sinyal keprihatinan mereka terhadap kondisi moralitas anak-anak sekarang. Mereka kadang serius sambil guyon menyatakan bahwa kebanyakan anak tempo dulu kurang cerdas, tetapi memiliki moral yang anggun, tetapi anak sekarang cukup cerdas namun miskin moralitas, walaupun dalam realitas empirik, sesungguhnya pendidikan kita cukup berhasil dalam membina anak didik, ketimbang pendidikan masa lalu. Tetapi Realita amoral pada anak didik tersebut tidak bisa dipungkiri, banyak kasus-kasus yang terliput di media massa dari majalah local maupun nasional yang tidak sedikit menimpa anak-anak usia sekolah mulai dari kasus perkosaan, pencurian, narkoba, perkelahian  tauran antar pelajar, dan banyak lagi  lainnya yang telah mengungkit  perhatian dari berbagai pihak. Mengapa dekadensi moral terhadap generasi sekarang merupakan persoalan crusial yang perlu mendapatkan penanganan secara serius dan komprehensif?, Apa akar masalah terjadinya keterpurukan moral?, Akankah pendidikan moral dianggap sekedar melengkapi saja pada sistem pendidikan nasional kita?, Siapakah yang harus bertanggung jawab?.

Pembahasan 
Jika kita amati secara seksama pada bangsa ini, persoalan besar yang melingkupi kehiduapan berbangsa dan bernegara di era reformasi ini adalah keterpurukan moral pada sebagaian besar warga bangsa maupun penyelenggara negara itu sendiri (Winarno,2004). Ada yang salah dalam penyelenggaraan pemerintah terutama dalam membentuk moral banga yang berkualitas. Bangsa Indonesia yang terkenal dengan “Ketimurannya” sepertinya sudah pudar. Contoh sederhana saja, betapa  
sulitnya bangsa ini menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Begitu sulitnya mewujudkan rasa tenggang rasa antar sesama. Mengapa setiap perselisihan harus diselesaikan melalui jalan kekerasan?. Dilingkungan masyarakat kita sering menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia seperti Persekusi, tawuran antar pelajar, tindakan asusila remaja, tindakan kekerasan oleh preman, penganiayaan, pembunuhan, penipuan, masih rendahnya kualitas penegakan hukum sampai masalah korupis merajalela, jalan dan cara yang tidak elok dilakukan  dalam proses memperkaya diri dan golongan, mulai dari “salam temple” di jalan raya dan lain sebagainya. Gambaran ini cukup menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini memang tengah dilanda dekadensi moral yang luar biasa. Pada titik demikian orang kemudian berpaling pada Pendidikan. Pendidkan nasional terkesan kurang berhasil dalam menyemai moral serta karakter baik bagi warga negara. Dibidang pendidikan masalah yang dihadapai adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang beorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan –latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari – hari. Akhirnya pendidkan moral, menjadi begitu penting dalam situasi demikian. Namaun anehnya, pendidikan moral sepertinya tidak penting ditengah –tengah pendidikan eksak akademik atau pendidikan profesi. Dalam dunia global sekarang ini pendidikan untuk kepentingan dunia kerja itulah yang dianggap penting. Pendidkan budi pekerti hanyalah bersifat pelengkap yang secukupnya saja diberikan pada peserta didik. Oleh karena itu menjadi penting untuk diketahui bagaimana pendidkan moral yang efektif dan siapa yang berperan. 

Hakekat Moral 
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan, Ajaran kesusialan. Moralitas berarti hal mengenai Kesusilaan (Salam 2000). 
mengatakan bahwa “ moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain Moral atau Kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan sebagai tuntutan kodrat manusia. Huky (dalam Daroeso, 1986) mengatakan terdapat tiga cara dalam memahani moral, yaitu :   
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk yang baik sesuaia dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. 
2. Moral sebagai peangkat ide –ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang di pegang oleh sekelompok manusia didalam lingkungan tertentu. 
3. Moral adalah ajaran tetang tingkah laku hidup yang baikberdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. 

Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting dan startegis dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia akan disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat. Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengaur tingkah laku manusia dimasyarakat  
Untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Menurut Daroeso dalam melaksanakan perbuatan tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu: 
1. Kehendak, yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan. 
2. Perwujudan dari kehendak, yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
3. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar, dan kesadaran inilah yang memberi corak dan warna perbuatan tersebut. 
  
Ketika moral tersebut ditanama pada seseorang atau siswa, maka sering kita kenal dengan istilah pendidikan moral. Pendidikan moral merupakan upaya dari orang dewasa dalam membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan harapan masyarakat yang dilakaukan secara sadar. Menurut Daryono (1998) pendidikan moral merupakan suatu usaha sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai moral tersebut. 
Adanya pendidikan moral bukanlah tanpa tujuan. Sasaran pendidikan moral adalah sebagai berikut :
1. Membina dan menanamkan nilai moral dan norma.
2. Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau kelompok.
3. Meningkatkan kualitas diri manusia, kelompok atau kehidupan,
4. Menangkal, memperkecil dan meniadakan hal-hal yang negatif,
5. Membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan,
6. Melakukan klarifikasi nilai intrinsik dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum. (www. anneahira.com).



Peran Stategis Keluarga Dalam Menanamkan Nilai Moral.

Keluarga menurut Ahmadi seperti dikutip Fitria Susanti dan Novita (2009) adalah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak. Jadi keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak sejak anak dilahirkan. Di dalam keluarga anak memperoleh banyak pengalaman dan stimulus untuk tumbuh dan berkembang. Pengaruh keluarga terhadap perkembangan moral anak sangatlah besar. Dengan melihat perilaku orang dewasa di dalam lingkungan keluarga dimana anak tinggal,anak akan memperhatikan perilaku tersebut, kemudian menirunya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian keluarga merupakan tempat yang sangat efektif untuk menginternalisasikan nilai moral kepada anak. 
Keluarga merupakan peletak yang utama dalam membentuk karakteristik anak-anak, dalam beragama, bertata susila, maupun gaya hidup dalam kesehariannya.  Kebiasaan baik yang diperlihatkan orang tua dalam kesehariannya akan membantu anak untuk lebih memahami tentang penerapan agama maupun kehidupan sosial lainnya. Untuk itulah sebelum membentuk suatu keluarga, sudah seharusnya dipersiapkan semaksimal mungkin, agar semua kewajiban atau tanggung jawabnya dalam keluarga bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan moral atau kita kenal pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada prilaku berupa ucapan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya brdasarkan nilai – nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa. Moral berisi nilai – nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan santun, norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan dan kepribadian peserta didik. Stratagi yang dilakukan dari kurikulum saat ini adalah pengintegrasian pendidikan moral. Pendidikan moral tau budi pekerti terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran terutama pada mata pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Secara konseptual sudah cukup bagus, tetapi jika lihat produknya, kemerosotan bangsa ini makin jelas dan kompleks. Mensikapai hal ini, tentunya segera dilakukan evaluasi dan inovasi secepatnya untuk segera menemukan formula baru untuk memperbaiki moral. Menurut Suyanto (2002) saah satu upaya dalam meningkatkan moral dan ahlk melalui peran pendidkan dan keluaga. Lembaga non formal yang selama ini belum diberdayakan secara optima, yaitu pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga selama ini masih didominasi otoritas orang tua, dan tidak didukung dengan kurikulum segaimana pendidikan formal. Akan tetapi jika dilihat dari urgensi bahwa keluarga sebagai lembaga paling dasar dan utama dalam memberikan pendidikan anak, terutama pendidkan moral. Sampai saat ini belum ada “kurikulum” yang biasa digunakan sebagai acuan pendidikan dalam keluarga untuk mendapatkan anak – anak yang berkualitas. 

Menurut Hawari Dadang (2002) bahwa anak atau siswa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan yang tidak harmonis, memiliki resiko yang berbeda. Resiko anak mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian anti sosial dalam berprilaku menyimpang lebih besar dari keluarga tidak harmonis, dibandingkan dengan nak atau siswa yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis. Kriteria kondisi keluarga yang tidak harmonis menurut para ahli antara lain : 
1. Keluarga tidak utuh 
2. Kesibukan orang tua
3. Hubungan interpersonal anggota keluarga yang tidak baik
4. Ganguan fisik atau mental dalam kelaurga
5. Subtansi kasih kasang yang cenderung ke bentuk material, bukan psikologis.
6. Orang tua jarang di rumah 
7. Hubungan ayah –ibu yang tidak sehat (terdapat perselingkuhan) 
8. Sikap orang tua yang dinging, acuh pada anak 
9. Sikap kontrol yang tidak konsisten 
10. Kurang stimuli kognitif dan sosial.

Meninjau kembali fungsi keluarga dan eksistensi kehidupan sosial tampakanya perlu dikaji kembali. Hal ini sangatlah beralasan, karena individu pada dasarnya tumbah dan berkembang dimulai dari lingkungan keluarga. Oleh karena itu tidaklah bijak keluarga tidak lagi memeikirkan fungsi–fungsi penting perkembangan individu. Berdasarkan pemikiran diatas jelas bahwa penanaman nilai-nilai moral dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan harus dimulai dari level yang dasar yaitu level keluarga. Sosok orang tua (ayah dan ibu) merupakan individu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nilai – nilai moral dalam keluarga. Sementara itu metode yang dikembangkan oleh keluargapun sudah saatnya disesuaikan dengan dinamika perubahan masyarakat. Cara oteriter misalnya sudah saatnya dikurangi dan diusahakan untuk lebih demokratis. Bagaimana orang tua mendidik anak dalam kesehariannya akan memepengaruhi perkembangan anaknya dikemudian hari. Keluarga sebagai lembaga pendidikan non formal menpunyai peran penting dalam menanamkan nilai –nilai moral pada anak sebelum masuk level pendidikan formal. Eksistensi orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam menanamkan nilai –nilai paling dasar sebelum anak masuk dalam komunitas berikutnya. Dalam upaya encapaian pendidikan moral dalam keluarga, perlu dievaluasi dan dikaji untuk menemukan suatu formulasi yng tepa oleh para praktisi pendidikan dan semua elemen. Sudah saanya keluarga menjadi “focus oriented” dalam memberikan pendidikan anak sementara pendidikan formal bersifat pengembang. 
Untuk itulah sebelum membentuk suatu keluarga, sudah seharusnya dipersiapkan semaksimal mungkin, agar semua kewajiban atau tanggung jawabnya dalam keluarga bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Secara sekilas tentang fungsi keluarga sangatlah penting, yakni tempat untuk memberikan yang terbaik bagi seluruh anggota keluarga, baik orang tua maupun anak-anaknya.  Selain itu lingkungan keluarga sangat memberikan peranan yang cukup besar dalam kehidupan anak.  Karenanya terciptanya suasana sejuk, tenteram dan santai, saling mencurahkan kasih sayang, saling membantu, maka dengan sendirinya anak akan merasakan kesejukan yang menyusup dalam jiwanya, sehingga dalam menatap masa depan akan penuh dengan keceriaan dan kemantapan.  
  Sehingga seumur hidupnya anak memiliki kesan bahwa keluarganya adalah yang terbaik yang mampu menumbuh motivasi untuk berkretivitas sehingga mencapai keluhuran, mengembangkan cakrawala pikir dan wawasan dalam mencapai cita-cita serta menjadikan anak-anaknya menjadi manusia yang siap mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi masyarakat.  
Perlu kiranya kita perhatikan  fungsi keluarga sebagai sekolah pertama dan utama dalam mendidik dan membentuk moralitas anak-anak  sebagai berikut :

Struktur Keluarga
Secara kodrati bayi dilahirkan dalam keadaan suci, keluargalah yang membesarkannya menjadi baik atau buruk.  Keluarga dan pendidikan dapat berpengaruh, bahkan menghilangkan sifat-sifat khas yang diwarisinya.  Anak adalah buku catatan alam yang belum mendapat tulisan dan keluargalah yang menuliskan kalimat-kalimat angkuh, baik dan buruk di atasnya.  Keluarga memiliki tanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian anak, juga dalam menentukan kebijaksanaan yang akan diambil olehnya pada masa sekarang dan mendatang.  Dan unit keluarga pula yang bertanggung jawab atas terbentuknya sifat anak yang membangun dan merusak.

Fungsi Budaya Keluarga
Anak dilahirkan ke dalam keluarga dengan kultur khusus.  Sejak awal sekali anak memperoleh budaya itu melalui orang tua atau keluarganya.  Dengan landasan itu jiwa dan pikiran anak terbentuk.  Budaya anak bergantung pada cita, rasa dan selera orang tua.  Jadi, keluarga dalam hal ini memiliki fungsi sebagai penguasaan informasi, pengetahuan umum, bahasa dan percakapan, serta bergaul dan pola hidup, moral, cinta, kasih sayang, kerjasama, simpati, kemuliaan dan kejujuran anak.

Fungsi Sosial Keluarga
Keluarga memikul tanggung jawab bagi tegaknya masyarakat yang baik atau korup.  Ini karena dasar pikiran dan jiwa anak terletak dalam pusat tersebut.  Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mengarahkan seorang individu pada kehidupan bermasyarakat (social life), serta menjadikan sebagai sumber cita-cita, kehendak, pemikiran ideologis, sosial politik.  Singkatnya keluarga merupakan pangkal dari kesejahteraan masyarakat.

Fungsi Emosi dan Moral Keluarga.
Lingkungan pertama yang memberikan anak kekuatan dan kelemahan emosi dan perasaan adalah keluarga.  Keluarga bertindak sebagai alat transformasi tradisi, adat istiadat, moralitas dan ritual.  Dalam pusat keluarga, anak mempelajari moralitas, kepercayaan diri, larangan-larangan, penghormatan terhadap hukum, perilaku yang baik, kasih sayang, emosi, kebaikan, sifat iri hati dan sebagainya.
Dengan fungsi tersebut keluarga merupakan alat atau media dalam segala aspek bagi anak-anaknya.  Sehingga jika keluarga mampu menempatkan posisinya sebagai keluarga yang bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, maka akan tumbuhlah anak-anak yang sebagaimana diharapkan yaitu anak yang cerdas secara emosional, intlektual dan , spiritual. Akhirnya marilah kita buka kesadaran kita akan tanggungjawab yang sangat besar terhadap pendidikan moral anak-anak, terutama sekali pendidikan di lingkungan keluarga masing-masing.Anak-anak dibiasakan untuk memilih konsekuensi terhadap apa yang dilakukan. Jika anak bersalah, mak ia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut. Dengan cara apa? Berikan sanksi seketika setelah anak melakukan kesalahan. Dengan demikian anak akan lebih mudah mengingat di masa yang akandatang, jika ia bersalah maka akan diberi sanksi. Jika terpaksa harus memberikan sanksi, maka hindarilah sanksi yang bersifat fisik.. Artinya bahwa ketika anak berperilaku negative, maka sanksi yang diberikan orang tua bukanlah dengan mencubit,
memukul, atau menyakiti badan lainnya. Sanksi yang diberikan kepada anak dapat berupa penghentian sementara aktivitas yang disenangi anak sebagai konsekuensi dari perilaku anak yang negative.  
Berdasarkan uraian-uraian di atas tersebut jelaslah bahwa peran
keluarga dalam menanamkan nilai kepada anak sangat besar. Peran keluarga dalam memberikan stimulasi untuk perkembangan moral anak harus tepat dan optimal.
Berdasarkan pernyataan di atas, bila dilihat dari sisi lingkungan belajar  yang utama adalah dengan memberikan keteladanan yang terbaik.  Dengan perbuatan dan perilaku orang tua, guru, dan masyarakat, anak diharapkan akan menirunya dan sedikit-demi sedikit diarahkan untuklebih memberikan penghayatan melalui tindakan,pemahaman, penyadaran. Jadi upaya mendidik moral melalui menanamkan nilai-nilai moral, bukan mengajarkan nilai moral tanpa didukung penghayatan, pemahaman,dan penyadaran atau hanya pada tataran kognitif semata. Pendidikan moral yang ideal adalah melibatkan kerjasama lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dimana dia hidup dan tinggal. Secara teoritis wacana ini memang sudah ada sejak lama, namun jika jika kita lihat hasilnya pada saat ini tentunya masih menjadi pertanyaan besar dan perlu ada evaluasi. Output pendidikan moral justru memperihatinkan, dan keterpurukan moral semakin besar. Ketiga lingkungan tersebut tentunya harus dievaluasi, apa saja yang telah dilakukan, dan bagaimana pendidikan moral diberikan pada anak. Tanpa mengabaikan pihak manapun, saya mencoba untuk memberikan suatu
alternatif untuk meninjau kembali pendidikan moral yang telah dilakukan orang tua dalam keluarga dengan alasan sebagai berikut:
1. Lingkungan pertama dan utama anak adalah lingkungan keluarga. 
2. Ditinjau frekuensi waktu, anak lebih banyak tinggal dalam keluarga. 
3. Adanya kecenderungan para orang tua semakin sibuk dalam pekerjaannya yang berakibat semakin berkurangnya perhatian pada anak.


KESIMPULAN
Keterpurukan moral yang terjadi pada era sekarang  ini adalah merupakan salah sautu tantangan berat bagi semua pihak. Peran pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat haruskita tinjau lagi dan dievaluasi. Apa yang telah dilakukan, dan bagaimana ketiga lingkungan ini mendidiknya. Terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, perkelahian, tawuran, penganiayaan, penipuan,penyuapan, penggelapan, mavia hukum, makelar kasus dan keterpurukan moral lainnya bukanlah tanpa sebab, tetapi pasti ada penyebab utama atau ada sesuatu yang salah dalam pendidikan moral di negeri ini.Sulit untuk menjawab pertanyaan di atas, karena masalah pendidikan moral begitu komplek dan melibatkan banyak pihak, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Keterlibatan pemerintah juga perlu dipertanyakan juga. Kebijakan-kebijakan pemerintah melalui berbagai ketetapan dan perundang-undangan termasuk kurikulum dalam pendidikan formal juga harus dievaluasi, sampaisejauh mana ketercapaian semua kebijakan yang telah dibuatnya ? Melihat fenomena ini maka dipandang perlu untuk meninjau kembali lingkungan pertama dan utama dimana seorang individu
hidup, tumbuh dan berkembang, yaitu lingkungan keluarga. Ditinjau dari kuantitas waktu. anak lebih banyak berinteraksi dengan keluarga atau orang tua, sehingga dipandang perlu untuk meninjau kembali apa yang telah dilakukan orang tua, dan bagaimana mereka melakukan pendidikan moral anak. Salah satu masalah yang muncul saat ini, dan mungkin tidak disadari oleh sebagian orang tua adalah orang tua telah merampas hak anak untuk mendapatkan kasih sayang, sehingga karena kesibukan pekerjaannya, perhatian dan kontrol pendidikan pada anak semakin longgar. Perhatian atau kasih sayang dalam konteks ”psikologis” semakin berkurang diperoleh anak, meskipun kasih sayang dalam kontek materi berlimpah. Fenomena inilah yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Emansipasi wanita boleh tetap berlangsung, tetapi bukanlah ”emansipasi kebablasan” sampai melupakan kodratnya.

PENUTUP.
Peran keluarga dalam penanaman nilai moral anak usia dinisangatlah
besar. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Figur yang ditunjukkan oleh anggota keluarga dalam bentuk perilaku sehari-hari akan diamati oleh anak, dan kemudian diikuti dan ditiru oleh anak. Dengan demikian orang tua dalam keluarga sebisa mungkin harus mencontohkan perilaku yang positif kepada anak. 
Dalam rangka penanaman nilai moral pada anak di dalam keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : 
1. Nilai yang ditanamkan harus jelas.
2. Harus ada konsistensi atau keajegan (keharmonisan).
3. Adanya keteladanan dari Orang tua.
4. Adanya sikap konsekuensi terhadap aturan yang diberlakukan. 

 


DAFTAR ACUAN

1. Ali Nugroho & Yeni.P, 2006. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universitas Terbuka.
2. Ananim. (2009) Pendidikan Moral. http://www.anneahira.com/artikelpendidikan/pendidikan-moral.htm.
3. Badru Zaman dkk. 2008. Media dan Sumber Belajar TK. Jakarta : Universitas Terbuka.
4. Cheppy Haricahyono. (1995). Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Press.
5. Depdiknas. (2003). . Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Depdiknas.
6. Dwi Siswoyo dkk. (2005). Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah.Yogyakarta: FIP UNY.
Elizabeth Hurlock. (1998). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
7. Depdiknas 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Depdiknas RI.
8. Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu.
9. Daryono, dkk. 1998. Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: 
10. Hawari Dadang, 2002. Dampak Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Remaja & kamtibmas. Jakarta.
11. H.Lahmuddin S.Ag.M.Pdi. (Dosen tetap Sekolah Tinggi Nahdlatul Wathan Samawa, Sumbawa Besar, 2021)
12. Suyanto. 2001. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
13. Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta.




Opini
Moralitas dan Peran Strategis Keluarga

Oleh: DONI HADIANTO TAYEB

Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Inovasi
Sekolah Pascasarjana Universitas Teknologi Sumbawa
 
  P
 
Pendahuluan

endidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian,kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat,bangsa dan Negara (UU Nomor 20 Tahun 2003). Dengan adanya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional sebagai upaya untuk meningkatkan mutu kinerja sistem pendidikan yang dianggap belum sesuai dengan harapan nasional, bahkan cenderung menurun,apalagi memenuhi standar internasional. Salah satu indikator rendahnya mutu pendidkan nasional adalah dapat dillihat dari prestasi akademik, proses pembelajaran masih terlalu  menekankan aspek akademik atau kognitif semata dan kualitas tenaga pendidik atau guru masih dipandang rendah. Sementara itu aspek – aspek non akademis, seperti nilai-nilai moral, belum diberdayakan secara optimal, dan hasilnya juga masih jauh dari yang diharapkan. Penanaman nilai –nilai moral diberikan secara terintegrasi melalui pelajaran tertentu saja, seperti PPKN dan Agama. Nilai –nilai moral cenderung hanya “diajarkan” semata, dan bukan “ditanamakan” pada siswa (Suyanto.2002). Efek yang terjadi kemudian adalah nilai –nilai moral tidak terinternalisasi dalam pribadi siswa atau anak didik. Fenomena ini tentunya berkorelasi dengan meningkanya kasus –kasus kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan maupun diluar dunia pendidikan di Indonesia.
 

 
Latar Belakang
Bila kita sempatkan diri berbincang-bincang dengan Orang Tua atau Pendidik yang berumur antara 45-60 an tahun tentang Moralitas anak-anak (siswa-siswi), maka secara umum kita akan menangkap sinyal keprihatinan mereka terhadap kondisi moralitas anak-anak sekarang. Mereka kadang serius sambil guyon menyatakan bahwa kebanyakan anak tempo dulu kurang cerdas, tetapi memiliki moral yang anggun, tetapi anak sekarang cukup cerdas namun miskin moralitas, walaupun dalam realitas empirik, sesungguhnya pendidikan kita cukup berhasil dalam membina anak didik, ketimbang pendidikan masa lalu. Tetapi Realita amoral pada anak didik tersebut tidak bisa dipungkiri, banyak kasus-kasus yang terliput di media massa dari majalah local maupun nasional yang tidak sedikit menimpa anak-anak usia sekolah mulai dari kasus perkosaan, pencurian, narkoba, perkelahian  tauran antar pelajar, dan banyak lagi  lainnya yang telah mengungkit  perhatian dari berbagai pihak. Mengapa dekadensi moral terhadap generasi sekarang merupakan persoalan crusial yang perlu mendapatkan penanganan secara serius dan komprehensif?, Apa akar masalah terjadinya keterpurukan moral?, Akankah pendidikan moral dianggap sekedar melengkapi saja pada sistem pendidikan nasional kita?, Siapakah yang harus bertanggung jawab?.

Pembahasan 
Jika kita amati secara seksama pada bangsa ini, persoalan besar yang melingkupi kehiduapan berbangsa dan bernegara di era reformasi ini adalah keterpurukan moral pada sebagaian besar warga bangsa maupun penyelenggara negara itu sendiri (Winarno,2004). Ada yang salah dalam penyelenggaraan pemerintah terutama dalam membentuk moral banga yang berkualitas. Bangsa Indonesia yang terkenal dengan “Ketimurannya” sepertinya sudah pudar. Contoh sederhana saja, betapa  
sulitnya bangsa ini menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Begitu sulitnya mewujudkan rasa tenggang rasa antar sesama. Mengapa setiap perselisihan harus diselesaikan melalui jalan kekerasan?. Dilingkungan masyarakat kita sering menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia seperti Persekusi, tawuran antar pelajar, tindakan asusila remaja, tindakan kekerasan oleh preman, penganiayaan, pembunuhan, penipuan, masih rendahnya kualitas penegakan hukum sampai masalah korupis merajalela, jalan dan cara yang tidak elok dilakukan  dalam proses memperkaya diri dan golongan, mulai dari “salam temple” di jalan raya dan lain sebagainya. Gambaran ini cukup menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini memang tengah dilanda dekadensi moral yang luar biasa. Pada titik demikian orang kemudian berpaling pada Pendidikan. Pendidkan nasional terkesan kurang berhasil dalam menyemai moral serta karakter baik bagi warga negara. Dibidang pendidikan masalah yang dihadapai adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang beorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan –latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari – hari. Akhirnya pendidkan moral, menjadi begitu penting dalam situasi demikian. Namaun anehnya, pendidikan moral sepertinya tidak penting ditengah –tengah pendidikan eksak akademik atau pendidikan profesi. Dalam dunia global sekarang ini pendidikan untuk kepentingan dunia kerja itulah yang dianggap penting. Pendidkan budi pekerti hanyalah bersifat pelengkap yang secukupnya saja diberikan pada peserta didik. Oleh karena itu menjadi penting untuk diketahui bagaimana pendidkan moral yang efektif dan siapa yang berperan. 

Hakekat Moral 
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan, Ajaran kesusialan. Moralitas berarti hal mengenai Kesusilaan (Salam 2000). 
mengatakan bahwa “ moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain Moral atau Kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan sebagai tuntutan kodrat manusia. Huky (dalam Daroeso, 1986) mengatakan terdapat tiga cara dalam memahani moral, yaitu :   
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk yang baik sesuaia dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. 
2. Moral sebagai peangkat ide –ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang di pegang oleh sekelompok manusia didalam lingkungan tertentu. 
3. Moral adalah ajaran tetang tingkah laku hidup yang baikberdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. 

Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting dan startegis dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia akan disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat. Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengaur tingkah laku manusia dimasyarakat  
Untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Menurut Daroeso dalam melaksanakan perbuatan tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu: 
1. Kehendak, yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan. 
2. Perwujudan dari kehendak, yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
3. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar, dan kesadaran inilah yang memberi corak dan warna perbuatan tersebut. 
  
Ketika moral tersebut ditanama pada seseorang atau siswa, maka sering kita kenal dengan istilah pendidikan moral. Pendidikan moral merupakan upaya dari orang dewasa dalam membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan harapan masyarakat yang dilakaukan secara sadar. Menurut Daryono (1998) pendidikan moral merupakan suatu usaha sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai moral tersebut. 
Adanya pendidikan moral bukanlah tanpa tujuan. Sasaran pendidikan moral adalah sebagai berikut :
1. Membina dan menanamkan nilai moral dan norma.
2. Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau kelompok.
3. Meningkatkan kualitas diri manusia, kelompok atau kehidupan,
4. Menangkal, memperkecil dan meniadakan hal-hal yang negatif,
5. Membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan,
6. Melakukan klarifikasi nilai intrinsik dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum. (www. anneahira.com).



Peran Stategis Keluarga Dalam Menanamkan Nilai Moral.

Keluarga menurut Ahmadi seperti dikutip Fitria Susanti dan Novita (2009) adalah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak. Jadi keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak sejak anak dilahirkan. Di dalam keluarga anak memperoleh banyak pengalaman dan stimulus untuk tumbuh dan berkembang. Pengaruh keluarga terhadap perkembangan moral anak sangatlah besar. Dengan melihat perilaku orang dewasa di dalam lingkungan keluarga dimana anak tinggal,anak akan memperhatikan perilaku tersebut, kemudian menirunya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian keluarga merupakan tempat yang sangat efektif untuk menginternalisasikan nilai moral kepada anak. 
Keluarga merupakan peletak yang utama dalam membentuk karakteristik anak-anak, dalam beragama, bertata susila, maupun gaya hidup dalam kesehariannya.  Kebiasaan baik yang diperlihatkan orang tua dalam kesehariannya akan membantu anak untuk lebih memahami tentang penerapan agama maupun kehidupan sosial lainnya. Untuk itulah sebelum membentuk suatu keluarga, sudah seharusnya dipersiapkan semaksimal mungkin, agar semua kewajiban atau tanggung jawabnya dalam keluarga bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan moral atau kita kenal pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada prilaku berupa ucapan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya brdasarkan nilai – nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa. Moral berisi nilai – nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan santun, norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan dan kepribadian peserta didik. Stratagi yang dilakukan dari kurikulum saat ini adalah pengintegrasian pendidikan moral. Pendidikan moral tau budi pekerti terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran terutama pada mata pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Secara konseptual sudah cukup bagus, tetapi jika lihat produknya, kemerosotan bangsa ini makin jelas dan kompleks. Mensikapai hal ini, tentunya segera dilakukan evaluasi dan inovasi secepatnya untuk segera menemukan formula baru untuk memperbaiki moral. Menurut Suyanto (2002) saah satu upaya dalam meningkatkan moral dan ahlk melalui peran pendidkan dan keluaga. Lembaga non formal yang selama ini belum diberdayakan secara optima, yaitu pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga selama ini masih didominasi otoritas orang tua, dan tidak didukung dengan kurikulum segaimana pendidikan formal. Akan tetapi jika dilihat dari urgensi bahwa keluarga sebagai lembaga paling dasar dan utama dalam memberikan pendidikan anak, terutama pendidkan moral. Sampai saat ini belum ada “kurikulum” yang biasa digunakan sebagai acuan pendidikan dalam keluarga untuk mendapatkan anak – anak yang berkualitas. 

Menurut Hawari Dadang (2002) bahwa anak atau siswa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan yang tidak harmonis, memiliki resiko yang berbeda. Resiko anak mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian anti sosial dalam berprilaku menyimpang lebih besar dari keluarga tidak harmonis, dibandingkan dengan nak atau siswa yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis. Kriteria kondisi keluarga yang tidak harmonis menurut para ahli antara lain : 
1. Keluarga tidak utuh 
2. Kesibukan orang tua
3. Hubungan interpersonal anggota keluarga yang tidak baik
4. Ganguan fisik atau mental dalam kelaurga
5. Subtansi kasih kasang yang cenderung ke bentuk material, bukan psikologis.
6. Orang tua jarang di rumah 
7. Hubungan ayah –ibu yang tidak sehat (terdapat perselingkuhan) 
8. Sikap orang tua yang dinging, acuh pada anak 
9. Sikap kontrol yang tidak konsisten 
10. Kurang stimuli kognitif dan sosial.

Meninjau kembali fungsi keluarga dan eksistensi kehidupan sosial tampakanya perlu dikaji kembali. Hal ini sangatlah beralasan, karena individu pada dasarnya tumbah dan berkembang dimulai dari lingkungan keluarga. Oleh karena itu tidaklah bijak keluarga tidak lagi memeikirkan fungsi–fungsi penting perkembangan individu. Berdasarkan pemikiran diatas jelas bahwa penanaman nilai-nilai moral dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan harus dimulai dari level yang dasar yaitu level keluarga. Sosok orang tua (ayah dan ibu) merupakan individu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nilai – nilai moral dalam keluarga. Sementara itu metode yang dikembangkan oleh keluargapun sudah saatnya disesuaikan dengan dinamika perubahan masyarakat. Cara oteriter misalnya sudah saatnya dikurangi dan diusahakan untuk lebih demokratis. Bagaimana orang tua mendidik anak dalam kesehariannya akan memepengaruhi perkembangan anaknya dikemudian hari. Keluarga sebagai lembaga pendidikan non formal menpunyai peran penting dalam menanamkan nilai –nilai moral pada anak sebelum masuk level pendidikan formal. Eksistensi orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam menanamkan nilai –nilai paling dasar sebelum anak masuk dalam komunitas berikutnya. Dalam upaya encapaian pendidikan moral dalam keluarga, perlu dievaluasi dan dikaji untuk menemukan suatu formulasi yng tepa oleh para praktisi pendidikan dan semua elemen. Sudah saanya keluarga menjadi “focus oriented” dalam memberikan pendidikan anak sementara pendidikan formal bersifat pengembang. 
Untuk itulah sebelum membentuk suatu keluarga, sudah seharusnya dipersiapkan semaksimal mungkin, agar semua kewajiban atau tanggung jawabnya dalam keluarga bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Secara sekilas tentang fungsi keluarga sangatlah penting, yakni tempat untuk memberikan yang terbaik bagi seluruh anggota keluarga, baik orang tua maupun anak-anaknya.  Selain itu lingkungan keluarga sangat memberikan peranan yang cukup besar dalam kehidupan anak.  Karenanya terciptanya suasana sejuk, tenteram dan santai, saling mencurahkan kasih sayang, saling membantu, maka dengan sendirinya anak akan merasakan kesejukan yang menyusup dalam jiwanya, sehingga dalam menatap masa depan akan penuh dengan keceriaan dan kemantapan.  
  Sehingga seumur hidupnya anak memiliki kesan bahwa keluarganya adalah yang terbaik yang mampu menumbuh motivasi untuk berkretivitas sehingga mencapai keluhuran, mengembangkan cakrawala pikir dan wawasan dalam mencapai cita-cita serta menjadikan anak-anaknya menjadi manusia yang siap mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi masyarakat.  
Perlu kiranya kita perhatikan  fungsi keluarga sebagai sekolah pertama dan utama dalam mendidik dan membentuk moralitas anak-anak  sebagai berikut :

Struktur Keluarga
Secara kodrati bayi dilahirkan dalam keadaan suci, keluargalah yang membesarkannya menjadi baik atau buruk.  Keluarga dan pendidikan dapat berpengaruh, bahkan menghilangkan sifat-sifat khas yang diwarisinya.  Anak adalah buku catatan alam yang belum mendapat tulisan dan keluargalah yang menuliskan kalimat-kalimat angkuh, baik dan buruk di atasnya.  Keluarga memiliki tanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian anak, juga dalam menentukan kebijaksanaan yang akan diambil olehnya pada masa sekarang dan mendatang.  Dan unit keluarga pula yang bertanggung jawab atas terbentuknya sifat anak yang membangun dan merusak.

Fungsi Budaya Keluarga
Anak dilahirkan ke dalam keluarga dengan kultur khusus.  Sejak awal sekali anak memperoleh budaya itu melalui orang tua atau keluarganya.  Dengan landasan itu jiwa dan pikiran anak terbentuk.  Budaya anak bergantung pada cita, rasa dan selera orang tua.  Jadi, keluarga dalam hal ini memiliki fungsi sebagai penguasaan informasi, pengetahuan umum, bahasa dan percakapan, serta bergaul dan pola hidup, moral, cinta, kasih sayang, kerjasama, simpati, kemuliaan dan kejujuran anak.

Fungsi Sosial Keluarga
Keluarga memikul tanggung jawab bagi tegaknya masyarakat yang baik atau korup.  Ini karena dasar pikiran dan jiwa anak terletak dalam pusat tersebut.  Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mengarahkan seorang individu pada kehidupan bermasyarakat (social life), serta menjadikan sebagai sumber cita-cita, kehendak, pemikiran ideologis, sosial politik.  Singkatnya keluarga merupakan pangkal dari kesejahteraan masyarakat.

Fungsi Emosi dan Moral Keluarga.
Lingkungan pertama yang memberikan anak kekuatan dan kelemahan emosi dan perasaan adalah keluarga.  Keluarga bertindak sebagai alat transformasi tradisi, adat istiadat, moralitas dan ritual.  Dalam pusat keluarga, anak mempelajari moralitas, kepercayaan diri, larangan-larangan, penghormatan terhadap hukum, perilaku yang baik, kasih sayang, emosi, kebaikan, sifat iri hati dan sebagainya.
Dengan fungsi tersebut keluarga merupakan alat atau media dalam segala aspek bagi anak-anaknya.  Sehingga jika keluarga mampu menempatkan posisinya sebagai keluarga yang bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, maka akan tumbuhlah anak-anak yang sebagaimana diharapkan yaitu anak yang cerdas secara emosional, intlektual dan , spiritual. Akhirnya marilah kita buka kesadaran kita akan tanggungjawab yang sangat besar terhadap pendidikan moral anak-anak, terutama sekali pendidikan di lingkungan keluarga masing-masing.Anak-anak dibiasakan untuk memilih konsekuensi terhadap apa yang dilakukan. Jika anak bersalah, mak ia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut. Dengan cara apa? Berikan sanksi seketika setelah anak melakukan kesalahan. Dengan demikian anak akan lebih mudah mengingat di masa yang akandatang, jika ia bersalah maka akan diberi sanksi. Jika terpaksa harus memberikan sanksi, maka hindarilah sanksi yang bersifat fisik.. Artinya bahwa ketika anak berperilaku negative, maka sanksi yang diberikan orang tua bukanlah dengan mencubit,
memukul, atau menyakiti badan lainnya. Sanksi yang diberikan kepada anak dapat berupa penghentian sementara aktivitas yang disenangi anak sebagai konsekuensi dari perilaku anak yang negative.  
Berdasarkan uraian-uraian di atas tersebut jelaslah bahwa peran
keluarga dalam menanamkan nilai kepada anak sangat besar. Peran keluarga dalam memberikan stimulasi untuk perkembangan moral anak harus tepat dan optimal.
Berdasarkan pernyataan di atas, bila dilihat dari sisi lingkungan belajar  yang utama adalah dengan memberikan keteladanan yang terbaik.  Dengan perbuatan dan perilaku orang tua, guru, dan masyarakat, anak diharapkan akan menirunya dan sedikit-demi sedikit diarahkan untuklebih memberikan penghayatan melalui tindakan,pemahaman, penyadaran. Jadi upaya mendidik moral melalui menanamkan nilai-nilai moral, bukan mengajarkan nilai moral tanpa didukung penghayatan, pemahaman,dan penyadaran atau hanya pada tataran kognitif semata. Pendidikan moral yang ideal adalah melibatkan kerjasama lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dimana dia hidup dan tinggal. Secara teoritis wacana ini memang sudah ada sejak lama, namun jika jika kita lihat hasilnya pada saat ini tentunya masih menjadi pertanyaan besar dan perlu ada evaluasi. Output pendidikan moral justru memperihatinkan, dan keterpurukan moral semakin besar. Ketiga lingkungan tersebut tentunya harus dievaluasi, apa saja yang telah dilakukan, dan bagaimana pendidikan moral diberikan pada anak. Tanpa mengabaikan pihak manapun, saya mencoba untuk memberikan suatu
alternatif untuk meninjau kembali pendidikan moral yang telah dilakukan orang tua dalam keluarga dengan alasan sebagai berikut:
1. Lingkungan pertama dan utama anak adalah lingkungan keluarga. 
2. Ditinjau frekuensi waktu, anak lebih banyak tinggal dalam keluarga. 
3. Adanya kecenderungan para orang tua semakin sibuk dalam pekerjaannya yang berakibat semakin berkurangnya perhatian pada anak.


KESIMPULAN
Keterpurukan moral yang terjadi pada era sekarang  ini adalah merupakan salah sautu tantangan berat bagi semua pihak. Peran pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat haruskita tinjau lagi dan dievaluasi. Apa yang telah dilakukan, dan bagaimana ketiga lingkungan ini mendidiknya. Terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, perkelahian, tawuran, penganiayaan, penipuan,penyuapan, penggelapan, mavia hukum, makelar kasus dan keterpurukan moral lainnya bukanlah tanpa sebab, tetapi pasti ada penyebab utama atau ada sesuatu yang salah dalam pendidikan moral di negeri ini.Sulit untuk menjawab pertanyaan di atas, karena masalah pendidikan moral begitu komplek dan melibatkan banyak pihak, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Keterlibatan pemerintah juga perlu dipertanyakan juga. Kebijakan-kebijakan pemerintah melalui berbagai ketetapan dan perundang-undangan termasuk kurikulum dalam pendidikan formal juga harus dievaluasi, sampaisejauh mana ketercapaian semua kebijakan yang telah dibuatnya ? Melihat fenomena ini maka dipandang perlu untuk meninjau kembali lingkungan pertama dan utama dimana seorang individu
hidup, tumbuh dan berkembang, yaitu lingkungan keluarga. Ditinjau dari kuantitas waktu. anak lebih banyak berinteraksi dengan keluarga atau orang tua, sehingga dipandang perlu untuk meninjau kembali apa yang telah dilakukan orang tua, dan bagaimana mereka melakukan pendidikan moral anak. Salah satu masalah yang muncul saat ini, dan mungkin tidak disadari oleh sebagian orang tua adalah orang tua telah merampas hak anak untuk mendapatkan kasih sayang, sehingga karena kesibukan pekerjaannya, perhatian dan kontrol pendidikan pada anak semakin longgar. Perhatian atau kasih sayang dalam konteks ”psikologis” semakin berkurang diperoleh anak, meskipun kasih sayang dalam kontek materi berlimpah. Fenomena inilah yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Emansipasi wanita boleh tetap berlangsung, tetapi bukanlah ”emansipasi kebablasan” sampai melupakan kodratnya.

PENUTUP.
Peran keluarga dalam penanaman nilai moral anak usia dinisangatlah
besar. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Figur yang ditunjukkan oleh anggota keluarga dalam bentuk perilaku sehari-hari akan diamati oleh anak, dan kemudian diikuti dan ditiru oleh anak. Dengan demikian orang tua dalam keluarga sebisa mungkin harus mencontohkan perilaku yang positif kepada anak. 
Dalam rangka penanaman nilai moral pada anak di dalam keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : 
1. Nilai yang ditanamkan harus jelas.
2. Harus ada konsistensi atau keajegan (keharmonisan).
3. Adanya keteladanan dari Orang tua.
4. Adanya sikap konsekuensi terhadap aturan yang diberlakukan. 

 


DAFTAR ACUAN

1. Ali Nugroho & Yeni.P, 2006. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universitas Terbuka.
2. Ananim. (2009) Pendidikan Moral. http://www.anneahira.com/artikelpendidikan/pendidikan-moral.htm.
3. Badru Zaman dkk. 2008. Media dan Sumber Belajar TK. Jakarta : Universitas Terbuka.
4. Cheppy Haricahyono. (1995). Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Press.
5. Depdiknas. (2003). . Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Depdiknas.
6. Dwi Siswoyo dkk. (2005). Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah.Yogyakarta: FIP UNY.
Elizabeth Hurlock. (1998). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
7. Depdiknas 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Depdiknas RI.
8. Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu.
9. Daryono, dkk. 1998. Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: 
10. Hawari Dadang, 2002. Dampak Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Remaja & kamtibmas. Jakarta.
11. H.Lahmuddin S.Ag.M.Pdi. (Dosen tetap Sekolah Tinggi Nahdlatul Wathan Samawa, Sumbawa Besar, 2021)
12. Suyanto. 2001. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
13. Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta.


*Penulis adalah salah satu mahasiswa prodi magister manajemen inovasi sekolah 
Program Pasca Sarjana 
Universitas Tekhnologi Sumbawa.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda