NASIONALISME INDONESIA HARUS
INKLUSIF;
Wawancara Imajiner dengan Bung Karno
tentang Filosofi Kebangsaan
Oleh: Asep Tapip
Yani
(Dosen
Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Wawancara imajiner ini akan
membayangkan percakapan dengan Ir. Soekarno, presiden pertama Republik
Indonesia dan salah satu pendiri bangsa, untuk membahas pemikirannya tentang
filosofi kebangsaan. Dalam wawancara ini, Bung Karno akan berbicara tentang
visi, ide, dan konsep yang membentuk kebangsaan Indonesia.
Kang Asep:
“Selamat pagi, Bung. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbicara dengan
saya hari ini. Saya ingin berbicara tentang konsep kebangsaan Indonesia, yang
sangat Anda perjuangkan sepanjang hidup. Menurut Bung, apa yang mendasari
filosofi kebangsaan Indonesia?”
Bung
Karno: “Selamat pagi! Terima kasih juga atas kesempatannya, Kang. Bicara soal
filosofi kebangsaan, dasar utama yang kita miliki adalah Pancasila, yang
saya gagas bersama kawan-kawan pejuang kemerdekaan. Pancasila ini bukan hanya
dasar negara, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kebangsaan kita sebagai
bangsa Indonesia. Dalam Pancasila terkandung semangat kebersamaan, gotong
royong, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Semua itu adalah fondasi yang saya
anggap penting untuk mempersatukan bangsa yang begitu beragam, baik dari suku,
agama, maupun budaya”.
Kang Asep:
“Bisa Bung jelaskan lebih lanjut bagaimana keberagaman menjadi bagian dari
filosofi kebangsaan?”
Bung
Karno: “Tentu! Sejak awal, saya sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang
majemuk. Kita memiliki ratusan suku, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda.
Namun, perbedaan ini bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. Oleh sebab itu,
saya mencetuskan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", yang artinya
berbeda-beda tetapi tetap satu. Filosofi ini menekankan bahwa meskipun kita
berbeda dalam banyak hal, kita tetap satu bangsa. Perbedaan itu ibarat
warna-warna dalam pelangi, yang meskipun berbeda, tetap indah ketika bersatu.
Maka, kebangsaan Indonesia harus dibangun di atas pengakuan dan penghormatan
terhadap keberagaman itu”.
Kang Asep:
“Dalam konteks globalisasi saat ini, banyak orang khawatir bahwa semangat
nasionalisme semakin pudar. Bagaimana Bung melihat hal ini?”
Bung
Karno: “Saya memahami kekhawatiran itu. Globalisasi membawa banyak perubahan,
termasuk penetrasi budaya asing yang bisa membuat generasi muda lupa dengan
identitas bangsanya sendiri. Namun, bagi saya, nasionalisme bukan berarti
menutup diri dari dunia luar. Nasionalisme yang sejati adalah kesadaran
bahwa kita adalah bagian dari dunia, tetapi dengan tetap bangga pada identitas
kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus menerima modernitas dan
globalisasi, tapi tidak boleh melupakan akar dan jati diri kita. Justru di era
globalisasi ini, nasionalisme harus lebih kuat. Kita harus tahu siapa kita,
dari mana kita berasal, dan apa peran kita di dunia ini sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat”.
Kang Asep:
“Bagaimana menurut Bung, nilai-nilai nasionalisme bisa ditanamkan pada generasi
muda, terutama dalam konteks zaman yang semakin digital ini?”
Bung Karno:
“Nilai-nilai nasionalisme harus diajarkan sejak dini melalui pendidikan yang
baik. Saya selalu percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membentuk
karakter bangsa. Pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga
soal menanamkan nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, kejujuran, dan cinta
tanah air. Selain itu, di zaman yang semakin digital ini, generasi muda
memiliki peluang besar untuk mempromosikan dan mengembangkan nasionalisme
mereka melalui teknologi. Kita bisa melihat banyak contoh, seperti anak-anak
muda yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan budaya Indonesia,
mengenalkan kearifan lokal, dan bahkan membangun gerakan-gerakan sosial yang
mendukung kemajuan bangsa”.
Kang Asep:
“Menarik, Bung. Dalam Pancasila, Anda juga menekankan pentingnya Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Bagaimana konsep ini terkait dengan kebangsaan?”
Bung
Karno: “Ya, poin kedua dalam Pancasila adalah "Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab." Nasionalisme yang sejati tidak boleh hanya berpikir tentang
kepentingan bangsa sendiri, tetapi juga harus memperhatikan nasib umat manusia
secara keseluruhan. Kebangsaan yang benar harus berdasarkan rasa kemanusiaan
universal. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang egois, yang hanya
memikirkan diri sendiri dan mengabaikan penderitaan orang lain, baik di dalam
maupun luar negeri. Dalam sejarah perjuangan kita, saya selalu menekankan bahwa
perjuangan kemerdekaan Indonesia juga merupakan bagian dari perjuangan umat
manusia untuk keadilan dan kemerdekaan di seluruh dunia. Dengan kata lain,
kebangsaan kita tidak boleh menindas, melainkan harus menolong”.
Kang Asep:
“Jadi, semangat kebangsaan itu bukan hanya tentang mencintai tanah air, tetapi
juga tentang bagaimana kita bersikap sebagai bangsa di hadapan bangsa-bangsa
lain di dunia?”
Bung
Karno: “Betul sekali! Nasionalisme Indonesia harus inklusif. Artinya,
kita mencintai dan bangga dengan bangsa kita, tetapi tidak memandang rendah
bangsa lain. Justru, semakin kita kuat sebagai bangsa, semakin besar tanggung
jawab kita untuk berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia. Itulah
yang saya tekankan ketika kita menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada
tahun 1955, di mana kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah
bangsa yang peduli dengan nasib bangsa-bangsa lain yang masih dijajah atau
mengalami ketidakadilan”.
Kang Asep:
“Bung, banyak yang mengatakan bahwa gagasan Anda tentang "Sosialisme
Indonesia" adalah bagian dari filosofi kebangsaan kita. Bagaimana Anda
melihat hubungan antara sosialisme dan nasionalisme?”
Bung
Karno: “Sosialisme yang saya maksud adalah sosialisme yang sesuai dengan
nilai-nilai Indonesia, yang berakar pada gotong royong, kepedulian sosial,
dan keadilan. Saya selalu menekankan bahwa kita tidak bisa meniru sosialisme
ala Barat. Kita punya tradisi sendiri, di mana rakyat saling tolong-menolong,
bekerja sama untuk kebaikan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir orang.
Itulah esensi dari sosialisme Indonesia. Nasionalisme dan sosialisme harus
berjalan beriringan karena nasionalisme tanpa keadilan sosial hanyalah
nasionalisme kosong. Sebuah bangsa yang kuat harus memastikan bahwa semua
rakyatnya sejahtera, bukan hanya sebagian kecil saja. Pancasila juga
mencerminkan hal ini dalam prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Kang Asep:
“Sebelum kita akhiri wawancara ini, Bung, apa pesan Anda untuk generasi
milenial Indonesia saat ini yang hidup di era serba modern dan digital?”
Bung
Karno: “Pesan saya sederhana: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!".
Sejarah adalah cermin di mana kita bisa belajar dan menatap masa depan. Saya
mengerti bahwa generasi muda sekarang hidup di zaman yang berbeda dengan zaman
kami dulu. Tetapi ingatlah bahwa modernitas dan kemajuan teknologi tidak boleh
membuat kalian lupa pada akar dan jati diri bangsa. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai sejarahnya, yang bangga dengan identitasnya, dan yang
siap berkontribusi bagi dunia dengan tetap setia pada nilai-nilai luhur
bangsanya.” Nasionalisme harus terus ada dalam hati kalian, tidak hanya dalam
bentuk upacara atau simbol-simbol, tetapi dalam tindakan nyata untuk membangun
bangsa ini, memperkuat persatuan, dan membawa Indonesia menjadi negara yang
berdaulat, adil, dan makmur di mata dunia”.
Kang Asep:
“Terima kasih banyak atas waktunya, Bung. Wawancara ini sangat inspiratif dan
membuka wawasan kami tentang filosofi kebangsaan Indonesia”.
Bung
Karno: “Terima kasih kembali, Kang Asep nu kasep. Semoga semangat nasionalisme
terus tumbuh di setiap hati rakyat Indonesia, terutama generasi muda yang akan
menjadi penerus perjuangan bangsa ini”.
Wawancara ini, meskipun imajiner,
mencoba menangkap esensi dari pemikiran dan visi kebangsaan Bung Karno yang
masih relevan hingga saat ini. Pesan-pesannya mengenai nasionalisme, kemanusiaan,
keadilan sosial, dan pentingnya memahami sejarah tetap menjadi pilar penting
dalam membangun Indonesia di masa depan.@@@