Ada "Bau Tak Sedap" di Penyaluran BPNT - Jejak Info

Kamis, 04 Februari 2021

Ada "Bau Tak Sedap" di Penyaluran BPNT



Adhar Hakim
Ketua Ombudsman RI 
Perwakilan NTB

Mataram, (WartaNRP-NTB)--Ombudsman RI Perwakilan NTB menemukan potensi maladministrasi yang sangat serius dalam penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Bumi Gora. Sebelumnya, Ombudsman NTB telah melakukan investigasi lapangan dan pemeriksaan tertutup kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

“KPM mengeluhkan kualitas pangan atau barang yang diterima tidak sesuai ketentuan,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Adhar Hakim, Kamis (4/2).

Masih dari hasil penelusuran Ombudsman, kualitas barang yang buruk itu diduga karena ada permainan oknum pengelola e-Warong dan dinas sosial kabupaten/kota. “Ada (dugaan praktik) pemaksaan pola pembagian dengan mempaketkan bantuan secara sepihak,” ungkapnya.

Cara seperti ini dinilai melanggar Pedoman Umum Program Sembako dan Permensos Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran BPNT. “Disebutkan (dalam aturan itu) KPM dalam transaksi perbelanjaan di e-Warong dapat memilih pangan yang telah ditentukan sesuai kebutuhan,” terangnya.

Tetapi yang dilakukan sejumlah e-Warong malah sebaliknya. Langkah mereka memaketkan bahan pangan telah membuat masyarakat penerima manfaat tidak bisa bebas memilih. “KPM dibuat tidak bisa memilih,,” ujarnya.

Bahkan rupanya, bahan pangan paketan ini, telah diterima e-Warong dari suplier. “Isinya telah diatur beras 10 kg, kacang-kacangan, daging, telur, dan buah itu dihargai Rp 200 ribu,” rincinya mengungkap temuan.

Persoalan lainnya, lanjut Adhar, e-Warong banyak yang tidak sesuai pedoman umum. “Banyak e-Warong, sebenarnya aslinya bukan penjual bahan pangan,” bebernya.

Tetapi setelah ditelusuri ada yang berlatar belakang usaha elektronik. “Penjual pulsa, rokok elektrik, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Adhar mempertanyakan kompetensi e-Warong seperti itu dalam menyiapkan bahan makanan. “Padahal baik Permensos Nomor 20 tahun 2019 maupun Pedoman Umum Program Sembako, menyebutkan e-Warong adalah agen bank pedagang dan atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan bank penyalur,” ulasnya.

Cara praktik seperti ini tidak hanya maladministrasi. Tetapi juga khas aroma korupsi. “Tidak akan membantu niat pemerintah menyalurkan bantuan secara baik, serta tidak dapat mendorong pertumbuhan UKM,” ujarnya.

Ombudsman, mempertanyakan bagaimana bank penyalur menetapkan, membina, mengawasi, hingga mengevaluasi pelaksaan e-Warong. “Ada indikasi juga E-Warong diarahkan agar bekerja sama sama dengan suplier yang telah ditentukan,” ungkapnya lagi.

Bahkan e-Warong ditekan memilih bahan pangan tertentu. “Lalu menandatangani perjanjian kerja sama yang isinya (demi keuntungan) sepihak,” ulasnya.

Bila ada e-Warong berani menolak, mereka tak segan diancam. “Pengancamnya oknum pendamping,” ungkapnya.

Adhar mengingatkan tugas pendamping bantuan sosial kecamatan bukan untuk memaksa e-Warong bekerja sama dengan suplier tertentu. “Tetapi mendampingi KPM BPNT dalam pembelanjaan dana program penyaluran BPNT, melengkapi data KPM BPNT untuk melakukan penggantian KPM BPNT, membuat jadwal distribusi KKS, menyusun laporan penyaluran BPNT,” terangnya.

Selain itu melakukan sosialisasi kepada KPM BPNT, danmelakukan pemantauan pelaksanaan program penyaluran BPNT. “Kepala daerah dan dinas sosial yang tengah menjalankan program BPNT harus segera melakukan evaluasi dan melakukan pengawasan secara ketat,” ujarnya.

Praktik dalam distribusi BNPT dinilai kental manipulasi. “Ada unsur manipulasi,” tekannya.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial NTB H Ahsanul Khalik mengatakan persoalan itu ada di kabupaten/kota. Bantuan BNPT selama ini dalam proses penyaluran dananya langsung masuk ke rekening KPM.

Sehingga secara detail, temuan Ombudsman itu yang lebih mengerti persoalannya Dinas Sosial kabupaten/kota. “Semua langsung di kabupaten (dan kota penyalurannya),” katanya pendek.

(001)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda