KEABSAHAN LEBE SEBAGAI WALI DALAM PERNIKAHAN DI KABUPATEN SUMBAWA - Jejak Info

Selasa, 04 Mei 2021

KEABSAHAN LEBE SEBAGAI WALI DALAM PERNIKAHAN DI KABUPATEN SUMBAWA

                *Oleh: H. FAISAL, S.Ag.

A. Muqaddimah
Berbicara masalah perkawinan adalah masalah klasik yang ketika ditelusuri terdapat variable yang ketika diangkat menjadi masalah yang up to date. Salah satunya adalah masalah wali dalam perkawinan. Dalam setiap pelaksanaan perkawinan terdapat rukun nikah yang harus dipenuhi sebelum pernikahan itu dilaksanakan, antara lain adalah wali nikah. Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali nikah adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. Banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Akan tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali yang mewakilinya atau wali atas penetapan Pengadilan Agama (wali Hakim). Menurut pendapat Jumhur ulama bahwa seorang wanita yang melaksanakan akad nikah seorang diri (tanpa wali), maka nikahnya  batal. 
Sebagaimana termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, pasal 19 menyebutkan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Selanjutnya pasal 20 menyebutkan tentang dua macam wali nikah; pertama, wali nasab yang terdiri dari empat kelompok yaitu laki-laki garis lurus ke atas, kerabat laki-laki ayah, anak paman laki-laki dari ayah, dan saudara kandung laki-laki kakek dari ayah serta keturunannya. Kedua, wali hakim, mengenai wewenang wali hakim yang dapat menikahkan hanya dalam beberapa momen-momen tertentu, seperti terjadinya pertentangan di antara para wali, wali nasab tidak ada, baik karena gaib atau karena mati atau karena walinya adhal/enggan. Hal itu, sesuai dengan sabda Nabi   yang artinya:
Dari Aisyah radiallahu anha berkata: siapa saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya. Maka pernikahannya batal, dan jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah menganggap halal farajnya. Jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.
Mengacu pada hadis di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pernikahan yang tidak ada walinya, maka walinya adalah Sultan (penguasa) atau orang yang diangkat olehnya.
Sebagaimana yang telah tertulis dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, bahwa pemerintah Indonesia mengenai masalah keagamaan khususnya perkawinan, sudah diserahkan kepada Departemen Agama (Menteri Agama) yang membawahi Depag tingkat I, tingkat II, hingga Kantor Urusan Agama (KUA), yang berbunyi: “Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah di tunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini”. Jadi jelas bahwa yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala KUA Kecamatan.
Namun demikian, realita di khususnya di Kabupaten Sumbawa terdapat wali nikah selain wali nasab dan wali hakim (penguasa atau orang yang diangkat oleh penguasa atau pemerintah). Wali yang dimaksud adalah seorang laki-laki yang diangkat oleh calon Istri/keluarga calon isteri.
Dengan melihat gambaran masalah di atas maka kami merasa tertarik untuk membahas permasalahan di atas dan berusaha mencari dasar hukum keabsahan Lebe sebagai wali nikah dalam perkawinan di Kabupaten Sumbawa.

B. Wali Nikah
a. Pengertian Wali Nikah
Kata "wali" berasal dari bahasa Arab, yaitu al-waliy muannatsnya al- waliyyah dan bentuk jamaknya al-awliya’ berasal dari kata walayali - walyan dan walayatan yang berarti mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang. Adapun yang dimaksud perwalian dalam terminologi para fuqaha sebagaimana dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhaili ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.
Atas dasar pengertian kata wali di atas, dapat dipahami bahwasanya hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anaknya ialah ayah. Hal ini dikarenakan ayah adalah orang terdekat, siap menolong, bahkan yang selama ini mengasuh dan membiayai anak- anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah.
Dalam pernikahan, wali diartikan sebagai seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Adapun akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.

b. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Menurut jumhur ulama, wali nikah merupakan salah satu rukun pernikahan. Wali dikatakan sebagai rukun pernikahan artinya harus ada dalam pernikahan, tanpa adanya wali, pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Terutama pernikahan dari orang yang belum mukallaf.4 Dalam akad pernikahan, wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang dimintai persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan wali sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad. Adapun bagi mempelai yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, jumhur ulama seperti Imam Malik, Syafi‟i dan Hambali sepakat bahwa kedudukan wali sebagai rukun atau syarat dalam akad nikah. Alasannya adalah mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya, oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya. Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri. Bagi perempuan yang telah dewasa baik ia janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil pasti yang dapat dijadikan rujukan.
Tidak   ada   satu   ayat   al-Qur’an   yang   jelas   secara   ibarat   al-nash menghendaki adanya wali dalam akad nikah. Namun, dalam al-Qur‟an terdapat petunjuk nash yang ibarat-nya tidak menunjuk kepada keharusan adanya wali, akan tetapi ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami menghendaki adanya  wali.  Di  samping itu,  terdapat  pula  ayat-ayat  al-Qur’an  yang dipahami perempuan dapat mengawinkan dirinya sendiri tanpa adanya wali. Ayat yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:
i) QS. Al-Baqarah ayat 232: Yang artinya: Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya. Ayat tersebut menjelaskan tentang larangan menghalangi perempuan yang habis masa iddahnya untuk menikah.
ii) QS. Al-Baqarah ayat 221: Yang artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hati. Ayat tersebut menjelaskan tentang larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik.
iii) QS. An-Nur ayat 32: yang artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah untuk mengawinkan orang- orang yang masih bujang.
Adapun ketiga ayat di atas tidak menunjukkan keharusan adanya wali. Namun, ketiga ayat tersebut berkaitan dengan perkawinan ditujukan kepada wali, dapat pula dipahami sebagai keharusan adanya wali dalam pernikahan.
Dari pemahaman ketiga ayat tersebut, jumhur ulama menetapkan keharusan adanya wali dalam pernikahan. Di samping itu, terdapat pula ayat al-Qur’an yang memberikan pemahaman bahwa perempuan boleh nikah sendiri tanpa adanya wali. Hal ini sebagaimana pendapat Abu Hanifah. Ayat tersebut antara lain:
i. QS. al-Baqarah ayat 232: Yang artinya: Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.
ii. QS. al-Baqarah ayat 230: Artinya: Kemudian jika dia menceraikan (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.
iii. QS. al-Baqarah ayat 234: Yang artinya: Kemudian apabila telah sampai akhir iddah mereka, maka tiada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.
Perbedaan pendapat mengenai perwalian tersebut sebagaimana berikut:
i. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad pernikahan dilakukan oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil, janda atau perawan, akalnya sehat atau tidak. Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan tersebut untuk mengakadkan pernikahannya. Wali merupakan syarat sahnya nikah, apabila perempuan menikah tanpa wali, maka nikahnya batal. 
ii. Ulama Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa bagi pernikahan anak kecil baik akalnya sehat atau tidak, diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan pernikahannya. Sedangkan bagi perempuan yang sudah dewasa dan akalnya sehat, boleh melangsungkan sendiri akad pernikahannya tanpa adanya wali. Menurut beliau, wali bukan merupakan syarat sahnya nikah, akan tetapi hukumnya sunnah boleh ada wali boleh pula tidak ada, yang penting harus ada izin orang tua pada saat menikah, baik ia perempuan maupun laki-laki.
iii. Ulama Malikiyah menurut riwayat Asyhab, wali merupakan suatu yang mutlak dalam pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Namun, menurut riwayat Ibnu Qasim, adanya wali hanyalah sunnah hukumnya dan tidak wajib.
iv. Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau akalnya tidak sehat diwajibkan adanya wali. Sedangkan bagi perempuan yang sudah dewasa wajib adanya izin dari wali. Yang dimaksud izin wali ialah bukan diakadkan oleh wali.
v. Menurut UU no. 1 tahun 1974, tidak dijelaskan mengatur wali nikah, akan tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

c. Syarat Wali
Adapun syarat-syarat untuk menjadi wali adalah sebagai berikut:
i. Islam. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam (non-Muslim) menjadi wali bagi orang muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 28
ii. Telah dewasa dan berakal sehat. Artinya, anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali, dikarenakan orang dewasa dan berakal sehat ialah orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad. Sebagaimana hadits Nabi yang artinya: “pena diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak hingga hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang gila sampai ia sembuh”.
iii. Laki laki. Adapun yang menjadi wali ialah pihak laki-laki, perempuan tidak diperkenankan. Ulama Hanafiyah dan Syi‟ah Imamiyah berbeda pendapat dalam hal ini, menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.
iv. Merdeka. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya yaitu orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan dirinya sendiri. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
v. Adil. Dalam hal ini, adil yang dimaksud ialah tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil, serta tetap memelihara muru‟ah atau sopan santun. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “pernikahan tidak sah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
vi. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah. Menurut Imamiyah, Syafi‟i, Maliki dan Hambali, berpendapat bahwa orang yang sedang ihram, baik untuk haji atau umrah, tidak boleh kawin dan mengawinkan orang lain, menjadi wakil atau wali nikah. Apabila perkawinan dilakukan dalam keadaan ihram, maka perkawinan tersebut batal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “orang yang sedang ihram, tidak boleh kawin, mengawinkan, dan melamar.

d. Urutan Wali
Wali yang berhak mengawinkan perempuan adalah „ashabah yaitu keluarga laki-laki dari jalur ayah, bukan dari jalur ibu. Ini adalah pendapat jumhur ulama selain Abu Hanifah yang memasukkan kerabat dari ibu dalam daftar wali. Adapun urutan wali menurut para madzab adalah sebagai  berikut:
1. Bapak
2. Kakek
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan)
6. Anak saudara laki-laki seayah
7. Paman Sekandung (maksudnya paman dari ayah yang seibu dan seayah)
8. Paman seayah
9. Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman seayah.
11. Bila semua itu tidak ada, barulah menikah menggunakan wali hakim.
Menurut Imam Syafi’i, bahwa perempuan tidak sah menikah kecuali dinikahkan oleh wali aqrob (wali yang dekat), bila tidak ada wali aqrob boleh dinikahkan oleh wali ab’ad (wali yang jauh, dan jika tidak ada wali yang jauh, boleh dinikahkan oleh wali hakim.

e. Wali hakim
Wali hakim adalah orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Yang dimaksud Penguasa adalah Penguasa Umum, Imamul-I‟ammah, Kepala Negara, yakni dalam sebuah republik ialah Presiden. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2 tahun 1978 ditetapkan bahwa kekuasaan itu didelegasikan ke bawahnya tidak langsung dipegang oleh Presiden sendiri, tapi pembantunya yaitu Menteri Agama dan untuk tiap wilayah kecamatan yang disamakan dengan itu dikuasakan pada pejabat Pegawai Pencatat Nikah/Penghulu yang diberi hak sebagai wali hakim.
Wali hakim bertindak sebagai wali apabila wali nasab: Memang benar-benar tidak ada, bepergian jauh, atau tidak di tempat dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab dekatnya yang ada di tempat akad, hilang hak perwaliannya, sedang ihram haji atau umrah, dan menjadi pasangan pengantin yang diakadkan itu.
Seluruh madzhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan perempuan gila apabila mereka tidak mempunyai wali yang terdekat, berdasarkan hadist yang artinya: Jika mereka (para wali) berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.

C. Lebe dalam Masyarakat Adat Sumbawa

a. Definisi Lebe
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Lebe berarti panggilan hormat untuk orang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang luas. Pengertian dalam tulisan  ini, dengan kata lain Lebe dapat diartikan sebagai Kyai, Tuan Guru, Dea Guru dan ulama.
Lebe pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama dalam hal ini agama Islam dan memiliki kedudukan yang disematkan oleh Sultan Sumbawa.
Pada dataran realitas sosial, seorang yang memiliki pengetahuan agama bisa sekaligus digelari seorang Lebe, dan seorang Lebe juga biasa sekaligus berpredikat seorang Kyai, Tuan Guru, Dea Guru atau ulama. Namun begitu, seorang Lebe tidak selamanya Kyai, Tuan Guru, Dea Guru atau ulama.
b. Kedudukan Lebe dalam Masyarakat Adat Sumbawa
Lebe merupakan salah satu pembantu Qadi di Lembaga Hukum Syara’. Lembaga ini berfungsi sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin I (1733-1758) yang ditandai dengan diangkatnya Qadi Pertama yaitu Dea Syekh Jamaluddin.
Lembaga Hukum Syara’ merupakan sebuah Lembaga yang didirikan oleh Kesultanan Sumbawa untuk mengurus segala persoalan yang berkaitan dengan penerapan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.
Langkah yang diambil oleh Dea Syekh Jamaluddin adalah membuat struktur Qodi yang terdiri dari Lebe Dalam dan Lebe Luar.
Lebe Dalam bertugas untuk mengatur seluruh kegiatan keagamaan dalam lingkungan Istana, termasuk menjadi Imam masjid Kerajaan. Sedangkan Lebe luar bertugas memilih Dea-dea Imam masjid untuk ditempatkan di masjid-masjid yang telah dibangun di seluruh Kademungan.
Keberadaan Lebe Dalam memang sangat sentral tugasnya dalam Kesultanan. Lebih jauh pengaruh seorang Lebe bukan hanya terbatas dalam tugas keagamaan namun juga tugas hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga Lebe juga memiliki pengaruh terhadap lingkungan masyarakat.
Posisi dan peran Lebe dalam kehidupan masyarakat sangat penting dan terfokus pada dua hal. Pertama, mereka dengan bobot kepakaran dan kealimannya masing-masing, berposisi dan berperan sebagai pencerah alam pikir Tau Samawa. Pemikiran dan fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan mereka selalu menjadi rujukan pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan menjadi acuan hukum. Kedua, posisi sentral dan peranan strategis Lebe adalah sebagai panutan umat. Dengan keteladanan moral yang baik, mulia dan luhur dari para Lebe maka masyarakat akan mendapatkan contoh dan bimbingan moral.
Dalam berbagai urusan kehidupan sehari-hari sejak Kelahiran Kabupaten Sumbawa juga tidak lepas pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang merupakan tonggak sejarah terbentuknya Daswati I Nusa Tenggara Barat dan Daswati II dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian masyarakat kadang menjadikan Lebe sebagai tempat konsultasi dan menyelesaikan masalah. Berbagai urusan warga Masyarakat, seperti masalah perkawinan, pengobatan penyakit, mencari rezeki, mendirikan rumah, mencari pekerjaan dan karir sering dikonsultasikan kepada Lebe. 
Peran Lebe pada masyarakat dalam hal perkawinan sangat erat sekali hubungannya. Sering kali Lebe diundang dalam acara resepsi pernikahan bahkan untuk menjadi wali nikah dalam perkawinan, mungkin karena dimaksudkan agar perkawinan tersebut menjadi berkah.
Sejak Kepala Daerah Swatantra Tingkat I NTB menetapkan likuidasi daerah Pulau Sumbawa pada tanggal 22 Januari 1959 dilanjutkan dengan pengangkatan dan pelantikan PS Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa Muhammad Kaharuddin III sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa, terjadi pergeseran tugas dan tanggung jawab Lebe dikarenakan Lembaga Hukum Syara’ tidak difungsikan lagi karena Pemerintah telah merealisasikan terwujudnya Kementerian Agama dengan mengeluarkan ketetapan resmi tertanggal 3 Januari 1946.

D. Deskripsi Lebe Sebagai Wali Nikah Dalam Perkawinan Tanpa Wali Nasab
Agama Islam menunjukkan adanya seperangkat hukum-hukum yang diberlakukan bagi seluruh pemeluknya. Di sana peranan ulama/Lebe tidak hanya sekedar mengajar dan memberikan khutbah-khutbah saja, akan tetapi juga untuk menafsirkan dan memperkuat peraturan-peraturan yang telah terbagi dalam beberapa bagian, seperti wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram agar bisa diamalkan oleh para pengikutnya.
Pada umumnya Lebe dalam memecahkan suatu permasalahan melalui konsultasi, berkumpul dan mendiskusikannya demi mencapai suatu mufakat, walau terkadang berakhir dengan suatu perbedaan, namun saling menghormati perbedaan pendapat yang satu dengan yang lainnya. Seperti halnya kasus Lebe sebagai wali nikah dalam perkawinan.
Kasus Lebe sebagai wali nikah dalam perkawinan tanpa wali nasab yang ditulis ini adalah fenomena yang terjadi di sebagian masyarakat khususnya masyarakat pedesaan bahkan perkotaan. Tidak sedikit kejadian pernikahan siri yang dilakukan oleh masyarakat baik tanpa sepengetahuan aparat setempat ataupun karena memang udah lumrah terjadi dalam masyarakat tersebut.
Sebagai contoh kasus adalah hubungan antara seorang wanita dan laki-laki yang menikah dibawah tangan/siri tanpa memberi tahu Pegawai Pencatat Nikah setempat, pernikahan tersebut dilaksanakan oleh wali hakim Lebe yang ditunjuk oleh calon mempelai/keluarga, karena pihak mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab/putus wali nasab, dimana tidak diketahui keberadaan ayahnya dan ia juga tidak mempunyai saudara laki-laki kandung bahkan bias terjadi sebaliknya. Dimana Wali nikah ada namun dikarenakan terkait dengan hokum poligami, maka masyarakat menunjuk Lebe sebagai Wali.
Berdasarkan contoh kejadian tersebut dapat dijelaskan bahwa wanita yang statusnya tidak mempunyai wali nasab, menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia dan menurut jumhur ulama ahli fiqih, maka wanita tersebut harus dinikahkan oleh wali hakim yaitu wali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu, Kepala Kantor Urusan Agama. Akan tetapi wanita tersebut menikah dengan menunjuk Lebe sebagai walinya.

E. Lebe Sebagai Wali Nikah dalam perkawinan dalam pandangan Hukum
Bagi suatu Negara dan bangsa, seperti Indonesia mutlak adanya Undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip yang dapat memberikan landasan Hukum dalam bidang perkawinan yang sudah dapat dijadikan pegangan, dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat, dan bagi golongan orang-orang Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisi tentang perkawinan, Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khusus bagi umat Islam, dan catatan sipil bagi yang lainnya.
Permasalahan wali hakim dalam KHI tidak disebutkan definisinya secara jelas. Namun di dalamnya telah tercantum tentang macam-macam dan urutan wali, serta alasan diperbolehkannya menggunakan wali hakim. Seperti dalam pasal 20 ayat (2) “ Wali nikah terdiri dari (a) Wali nasab (b) Wali hakim”. Selanjutnya dalam Pasal 22 berbunyi: Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali nikah bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Oleh karena itu dapat dipahami, bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila perkawinan tersebut sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebaliknya, apabila perkawinan tersebut hanya berdasar pada fiqihul Islam baik yang salaf ataupun yang khalaf, (bukan fiqih ke-Indonesiaan), maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah secara administratif, sehingga perkawinan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti di depan hukum. Demikian juga hasil analisis terhadap syarat dan rukun perkawinan dalam KHI dan UU Nomor 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa tidak terdapat ketentuan atau persyaratan  keharusan, adanya pencacatan perkawinan menurut hukum Islam, karena pencatatan perkawinan itu bersifat administratif.
Dalam hal pengangkatan orang lain selain wali nasab sebagai wali dalam perkawinan maka Imam Abu hanifah pendiri mazhab Hanafi berpendapat, pernikahan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak, adalah boleh.
Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut Abu Hanifah adalah Qur’an dan Sunnah Nabi. Dari Qur’an adalah surat Al-Baqarah ayat 240, 230 dan 232, bahwa akad dalam ayat-ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad menjadi hak atas kekuasaan mereka. Sedangkan dalil Sunnah Nabi yang digunakan untuk mendukung kebolehan wanita menikah tanpa adanya wali adalah hadis yang berbunyi: “seorang ayyim lebih berhak kepada dirinya daripada walinya”. Penyebutan al-ayyim, dalam hadits adalah “wanita yang tidak mempunyai suami”, baik gadis atau janda.
Imam Syafi’i berpendapat lain, jika ada wanita yang tidak memiliki wali satu pun (semua sudah meninggal duni atau tidak ada), maka yang berhak menikahkan adalah wali hakim. dan jika wanita itu tidak memiliki wali hakim, tidak memiliki status kependudukan yang jelas, sehingga tidak bisa dicatat di pencatatan sipil, maka wanita yang tidak memiliki wali nasab maupun wali hakim, mungkin karena pendatang gelap atau hidup di daerah terpencil, maka dia boleh meminta tetangganya atau orang yang dianggap baik (menjadi wali) untuk menikahkan dirinya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i membolehkan wanita yang tidak mempunyai wali nasab mengangkat orang lain untuk menjadikannya wali dalam pernikahan apabila wanita tersebut selain tidak mempunyai wali nasab juga tidak mempunyai wali hakim. Diumpamakan karena wanita tersebut berada di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pemerintahan atau lain sebagainya. Maka wanita yang masih mempunyai wali hakim seperti di kota-kota dan daerah- daerah yang masih terjangkau tidak boleh mengangkat wali sendiri.

F. Penutup
Mengacu pada pemaparan di atas, dapat di ketahui bahwa sesuatu yang menyebabkan terjadinya kasus Lebe sebagai wali nikah dalam perkawinan disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang wali nikah, maka demi menjaga kemaslahatan masyarakat khususnya dalam melakukan perkawinan, diharapkan bagi semua pihak untuk selalu belajar hal-hal yang berkaitan tentang perkawinan, menggali dan mempertimbangkan akibat hukum yang akan terjadi, melalui forum kajian keagamaan, sehingga dapat menghasilkan penerapan hukum Islam yang dapat memadukan antara fiqih Islam dan hukum di Indonesia, sehingga akan menjadikan perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan tercatat sah menurut hukum Negara, dan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
Keabsahan Lebe sebagai Wali dalam pernikahan yang memiliki wali nasab merupakan pernikahan ilegal baik ditinjau dari hokum islam maupun peraturan yang berlaku di Indonesia. Adapun ketiadaan Wali Nasab dalam pernikahan maka Hak Wali ada pada Kepala Kantor Urusan Agama/Penghulu bukan pada Lebe.


Daftar Pustaka

Departemen Agama Republik Indonesia, Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000.
Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Pegawai Pencatatan Nikah (PPN), Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Djaman Nur, Drs. H., Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, 2003, h. 65.Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya: Terbit Terang, 2006.
Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta: PT. Mitra Cendikia, 2004.
Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, Surabaya: Terbit Terang, 2006.
Heri Musbiawan, Sejarah dan Perkembangan Islam di Sumbawa, Sumbawa: Pajenang, 2018.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Semarang: Karya Putra, tt.
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaisia, Jakarta: INIS, 2002.
Manca L, Sumbawa pada Masa Dulu, Surabaya: Rinta Surabaya, 1984.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti, 2003.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Muhammad Jawad Maghniyah, “Al-Fiqhu Ala Madzahib al-Khamsah” diterjemahkan Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaf, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Al-Qozuyani, Sunan Ibnu Majah, Juz 1 (Bairut: Dâr Al-Fikr)
Muslim bin Al-Hijâj Abu Al-Husain Al-Qusyairi An-Nisâburi, Shohih Muslim  Juz 2 (Bairut: Dâr Ihya‟ At-Turots Al-„Arabi)
Tihami dan Sohari Sahranai, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Said Bin Abdullah bin Thalib Al Hamdani, Risalah Nikah, diterjemahkan Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Imani, 2002.
Sayyid Sabiq, “Fiqhusunnah”, di terjemahkan Mohammad Thalib, Fikih Sunnah 7, Bandung: Al-Maarif, 1981.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Syaikh Hasan Ayyub, “Fiqhul ‘Usrah al-Muslimah”, di terjamah M. Abdul Ghofur, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

*Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Inovasi Pascasarjana Universitas Teknologi Sumbawa) 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda